Penakluk Badai

Buku ini menceritakan tentang salah satu tokoh yang berkarisma yaitu KH. Hasyim Asy’ari yang selama ini hanya direduksi sebagai tokoh besar di kalangan Ormas Nahdhatul Ulama (NU) yang perannya sering hanya diketahui sekedar membela Aswaja dan menolak keras wahabisme. Lebih dari itu, dengan mengangkat perjuangan dan sumbangsihnya di bidang pendidikan, KH. Hasyim ditampilkan sebagai Bapak Revolusi Pendidikan Islam. Dimulai dari Tebuireng, KH. Hasyim mendirikan pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat bromocorah, perampok, pemabok, suka berjudi dan prostitusi, dan asusila. Tindakan ‘nyleneh’ beliau kali ini membuat cengang para Kiai Sepuh karena dianggap tidak lazim.
Di bidang kurikulum dan metode pengajaran, gagasan KH. Hasyim Asy’ari membongkar kejumudan yang mengkarat. Materi ilmu-ilmu umum sampai metode seminari dimasukkan ke dalam Pendidikan Islam bersanding imbang dengan ilmu-ilmu agama. Sementara metode pengajaran ala salaf yang dikenal di kalangan pesantren tetap dipertahankan sisi-sisi positifnya (hlm, 171-172). Tentu saja para Kiai Sepuh terheran-heran melihat perubahan pada para santri yang mulai memperdebatkan dan kritis terhadap wacana ilmu pengetahuan. Kelak, Bahts al-Masail sebagai metode Istimbat al-Hukm dalam tradisi NU, sejatinya, adalah buah manis dari metode pengajaran yang dipopulerkan oleh beliau.
Buku ini kembali menampilkan KH. Hasyim sebagai sosok kontroversial, yang gagasannya selalu melampaui zamannya. Melalui hasil istikharahnya, KH. Hasyim Asy’ari mau menerima tawaran kerjasama dari Jepang. Sementara banyak para Kiai lain dan rakyat yang sempat menjadi korban kekejaman Jepang mengkhawatirkan langkah politik KH. Hasyim tersebut. Jepang sendiri melunak dan mengambil jalan koperatif terhadap pribumi lantaran cemas bahwa suatu hari nanti Belanda akan merebut kembali wilayah yang kini diduduki Jepang. Kecemasan itu terbukti. Forum Internasional di Wina pada 1942 memutuskan bahwa negara-negara sekutu sepakat akan mengembalikan wilayah-wilayah yang diduduki Jepang kepada koloni masing-masing.
Landasan logika yang dijadikan pijakan KH. Hasyim adalah kenyataan bahwa beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dijajah Belanda, sehingga mentalitasnya rapuh dan mudah ciut. Dengan didikan dan gemblengan militer dari Jepang, bangsa Indonesia diharapkan memiliki kesiapan mental dengan suasana peperangan. Hal ini menjadi modal untuk kelak merebut kemerdekaan yang sesungguhnya. Sementara para kiai dari pesantren-pesantren lain melontarkan tuduhan bahwa KH. Hasyim Asy’ari adalah antek kolonialisme dan anti kemerdekaan (hlm, 322). Bagi mereka, cara yang tepat merebut kemerdekaan adalah dengan melawan kaum penjajah, tanpa kompromi apapun. Dengan kata lain, kubu KH. Hasyim adalah kubu nasionalis sejati sementara para kiai lain adalah nasionalis-idealis. Namun nyatanya, langkah politik yang ditempuh KH. Hasyim terbukti berbuah manis, masyarakat pribumi telah mengalami kemajuan yang pesat berkat keterlibatan Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar